- Home>
- materi Maedinar Pratiwi prodi PGSD III/B
Posted by : Unknown
Thursday, 14 January 2016
PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA ANAK
Makalah ini disusun guna memenuhi
Tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Dosen Pengampu :Ika
Wulandari Utamining Tias, M.Pd
DISUSUN OLEH :
MAEDINAR
PRATIWI (141350132)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
SEKOLAH TINGGI (STKIP
PGRI)
TP. 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul
“Perkembangan Moral dan Agama Agama”.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
msih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan guna perbaikan di masa yang akan datang.
Metro, 18 Mei
2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................................i
KATA
PENGANTAR..................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A.
Latar
belakang masalah..................................................................................................2
B.
Rumusan
masalah..........................................................................................................2
C.
Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................3
A. Tahapandan
Tingkat Perkembangan Moralitas Anak.....................................................4
1.
Tingkat Pra Konvensional.........................................................................................5
2.
Tingkat Konvensiona.................................................................................................6
3.
Tingkat Pasca-Konvensional......................................................................................6
B. Perkembangan Pemahaman tentang Agama Anak..........................................................7
C. Urgensi
Penerapan Pendidikan Agama dan Moral Terhadap Anak dalam Keluarga.....8
BAB III
PENUTUP.....................................................................................................................9
A.
Kesimpulan...................................................................................................................10
B.
Saran.............................................................................................................................10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan moral anak terkait dengan perkembangan cara
berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi tingkat perkembangan berpikir
anak, semakin besar pula potensi anak mencapai tingkat perkembangan moral yang
lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak yang mempunyai kecerdasan
tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat perkembangan moral yang baik
pula. Masih harus pula ditambahkan bahwa tidak berarti anak yang mempunyai
konsep moral tinggi akan mempunyai perilaku moral yang baik pula. Jadi, anak
yang tahu bahwa berlaku licik itu tidak baik tidak dengan sendirinya akan lurus
terus tindakannya.
Namun paling tidak,
anak yang kepekaan moralnya tinggi akan mempunyai potensi lebih besar untuk
bertindak dengan prinsip etis yang lebih jelas, konsisten, dan bermutu. Selain
itu, yang penting diingat adalah bahwa dasar dari moral kita adalah pengenalan
yang benar akan hakekat Allah. Sekalipun kita tidak mungkin dapat mengenal
Allah sampai sedalam-dalamnya, paling sedikit kita perlu membaca penyataan Diri
Tuhan di dalam Alkitab sedemikian rupa sehingga kita mengenal lebih banyak
hakekat kesucian, keadilan, dan kemahakuasaan Allah.
B. Rumusan Masalah
1)
Bagaimanakah tahapan dan tingkat perkembangan moralitas anak?
2)
Bagaimana perkembangan pemahaman tentang agama anak?
3) Apa urgensi dan implikasi
perkembangan moral dan agama bagi anak dalam lingkungan keluarga ?
C. Tujuan
1)
Untuk memahami tahapan dan tingkat perkembangan moralitas anak
2)
Untuk memahami perkembangan pemahaman tentang agama anak
3) Untuk mengetahui urgensi
dan implikasi perkembangan moral dan agama bagi anak dalam lingkungan keluarga
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tahapan dan
Tingkat Perkembangan Moralitas Anak
Pertama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma
sosial. Dalam pengertian ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang
di lingkungannya menjadi norma dirinya sendiri dengan cara mencontoh. Oleh
karena itu, sebagai seorang pendidik hendaknya menjadi contoh pada muridnya
untuk menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui
pemahaman sosial, artinya pengalaman sosial dapat meningkatkan pemahaman
terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan
institusi sosial, sistem hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal.Dalam
pembahasan ini, ada dua tokoh yang memperkenalkan teori perkembangan moral
tersebut.
Menurut
Piaget dalam teori perkembangan moral membagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Heteronomous Morality (5 sampai
dengan 10 tahun)
Pada
tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas
yang dimiliki oleh Tuhan, orang tua dan guru yang tidak dapat dirubah, dan
harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
2. Autonomous Morality atau Morality of
Cooperation (usia 10 tahun ke atas)
Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih
pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh
menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan
selanjutnya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang paling
menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.
Selain menurut Piaget tokoh lainnya yang membahas
perkembangan moral adalah Lawrence Kohlberg.Beliau seorang pakar dan praktisi
dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan
bertahap terhadap sekolompok anak selama dua belas tahun.Dari penelitian ini
dapat dikatakan secara singkat Bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam
tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat atau tinggi. Kolhberg
membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu: tingkat pra
konvensional, tingkat konvensinal, tingkat pasca konvensional.
1) Tingkat Pra
Konvensional ( usia 4-10 tahun)
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap
aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan
buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab
akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan
kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
a.
Tahap memperhatikan ketaatan dan hukum
Akibat fisik suatu perbuatan menentukan
baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat
tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada
kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak
menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan
karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh
hukuman dan otoritas. (anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat
hukuman akibat keburukan tersebut, dan perilaku baik dihubungkan denga
penghindaran dari hukuman).
b.
Tahap memperhatikan pemuasan kebutuhan
Perbuatan yang benar adalah perbuatan
yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan
memperalat orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di
pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat
resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara
fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika
engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi
perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun
keadilan. (perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan
tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain).
2.
Tingkat Konvensional(umur10-13 tahun)
Pada tingkat ini anak hanya menuruti
harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut
bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata.
Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib
sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif
mempertahankan, kecenderungan anak pada tahap ini adalah menyesuaikan
aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau
kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
a.
Tahap memperhatikan citra “ anak baik”
Pada tahap ini orang berpandangan bahwa
tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang lain serta
diakui oleh orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan
lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagai “ anak baik”. Tujuan
utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan
sesuai dengan harapan keluarga, masyarakat atu bangsanya. ( anak dan remaja
berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan
orang dewasa, bukan untuk menghindari hukum).
b.
Tahap memperhatikan hukum dan peraturan
Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya
untuk menjaga tata tertib.Orientasi seseorang adalah otoritas,
peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial.Tingkah laku yang baik
adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjaga
tata tertib sosial merupakan tindakan moral yang pada dirinya.( anak remaja
memiliki sikap pasti terhadap wewenang
dan aturan dan hokum harus ditaati oleh semua orang).
3. Tingkat Pasca-Konvensional (usia 13 keatas)
Pada
tingkat ini, orang bertindak sebagai subjek hukum dengan mengatasi hukun yang
ada. Karena hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan
umum, maka jika hukun tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat dirumuskan
kembali. Tingkat ini terdiri dari dua tahap, yaitu:
a.
Tahap memperhatikan hak perseorangan
Remaja
dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan
dan patokan sosial, perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan
untuk mencapai hal-hal yang paling baik, dan pelanggaran hukun dan aturan dapat
terjadi karena alasan-alasan tertentu.
b.
Tahap memperhatikan prinsip-prinsip etika
Keputusan
mengenai perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prisip moral pribadi yang
bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain, keyakinan terhadap pribadi dan nilai-nilai tetap
melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
mengekalkan aturan sosial.
Contoh: seorang suami yang tak beruang boleh jadi akan
mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa
melestarikan kehidupan manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi
dari mencuri itu sendiri.
B.
Perkembangan Pemahaman tentang Agama Anak
Seperti dalam halnya dalam pembahasan moral tadi, agama juga
merupakan fenomena kognitif.Oleh sebab itu, beberapa ahli psikologi
perkembangan (seperti Seifert dan Hoffnung) menempatkan pembahasan tentang
agama dalam kelompok bidang perkembangan kognitif. Bagi remaja, agama memiliki
arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh
Adams dan Gullota (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan
tingkah laku dan bisa membarikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang
berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi
remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan
agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.Kalau pada masa
awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik Tuhan
dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka
mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan.
Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini
sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, meskipun pada
masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun
karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan pada perkembangan kognitif, mereka
mungkin mempertanyakan tentang kebenaran, keyakinan agama mereka sendiri.
Dalam teori tentang perkembangan yang terkenal adalah teori theory
of faith dari James Fowler.Dalam toeri ini, Fowler mengusulkan
enem tahap perkembangan agama yang dihubungkan dengan teori-teori perkembangan
Erikson, Piaget, Kohlberg.
C. Urgensi Penerapan Pendidikan Agama dan
Moral Terhadap Anak dalam Keluarga
Pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus
diberikan kepada anak sejak dini ketika masih muda. Hal tersebut mengingat
bahwa pribadi anak pada usia kanak-kanak masih muda untuk dibentuk dan anak
didik masih banyak berada di bawah pengaruh lingkungan rumah tangga. Mengingat
arti strategis lembaga keluarga tersebut, maka pendidikan agama yang merupakan
pendidikan dasar itu harus dimulai dari rumah tangga oleh orang tua.
Pendidikan agama dan spiritual termasuk bidang-bidang
pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga terhadap
anak-anaknya.Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan
dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada kanak-kanak.Demikian
pula, memberikan kepada anak bekal pengetahuan agama dan nilai-nilai budaya
Islam yang sesuai dengan umurnya sehingga dapat menolongnya kepada pengembangan
sikap agama yang betul.
Inti pendidikan agama sesungguhnya adalah penanaman iman
kedalam jiwa anak didik, dan untuk pelaksanaan hal itu secara maksimal hanya
dapat dilaksanakan dalam rumah tangga.Harun Nasution menyebutkan bahwa
pendidikan agama, dalam arti pendidikan dasar dan konsep Islam adalah
pendidikan moral.Pendidikan budi pekerti luhur yang berdasarkan agama inilah
yang harus dimulai oleh ibu-bapak di lingkungan rumah tangga.Disinilah harus
dimulai pembinaan kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam diri anak didik.Lingkungan
rumah tanggalah yang dapat membina pendidikan ini, karena anak yang berusia
muda dan kecil itu lebih banyak berada di lingkungan rumah tangga daripada di
luar.
Tugas lingkungan rumah dalam hal pendidikan moral itu
penting sekali, bukan hanya karena usia kecil dan muda anak didik serta
besarnya pengaruh rumah tangga, tetapi karena pendidikan moral dalam sistem
pendidikan kita pada umumnya belum mendapatkan tempat yang sewajarnya.
Pendidikan formal di Indonesia masih lebih banyak mengambil bentuk pengisian
otak anak didik dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk masa
depannya, sehingga penanaman nilai-nilai moral belum menjadi skala
prioritas.Oleh sebab itu, tugas ini lebih banyak dibebankan pada keluarga atau
rumah tangga. Jika rumah tangga tidak menjalankan tugas tersebut sebagaimana
mestinya, maka moral dalam masyarakat kita akan menghadapi krisis.
Dari segi kegunaan, pendidikan agama dalam rumah tangga
berfungsi sebagai berikut: pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan
hidup yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya, kedua,
penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan pengetahuan
di sekolah.
Barangkali ada orang yang sering berbicara tentang
pendidikan sementara pandangannya tertuju secara khusus kepada
sekolah.Pendidikan lebih luas dari sekedar sekolah.Memang sekolah merupakan
suatu lembaga yang mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun tidak
dipungkiri bahwa sekolah menerima anak setelah anak ini melalui berbagai
pengalaman dan memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan dalam rumah
tangga.
Dalam kehidupan masyarakat primitif, keluarga menjalankan
proses pengembangan sosial anak dengan memperkenalkan berbagai keterampilan,
kebiasaan dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan komunitas. Karena
kehidupan masyarakat primitif masih sederhana, baik dalam anasir-anasir maupun
isinya, maka pola-pola pendidikannya pun masih sangat sederhana.Sejalan dengan
perkembangan sejarah dan kompleknya kehidupan, terjadi perubahan besar terhadap
masyarakat.Implikasinya, anak-anak mengalami kesulitan untuk belajar dengan
sekedar meniru. Dari situ muncul kebutuhan akan suatu lembaga khusus yang
membantu keluarga dalam mendidik anak-anak dan memelihara kelangsungan hidup
komunitas.
Demikianlah, keluarga pernah dan masih tetap merupakan
tempat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi dan menerima kehidupan
emosional.Individu dewasa ini menghadapi arus informasi dan budaya modern yang
mesti disikapi.Kesalahan utama yang dilakukan budaya modern yang berpijak pada
budaya barat adalah lahirnya pandangan bahwa segala yang bersumber dari barat
diserap dan dianggap sebagai ciri kemodernan.
Persoalan kenakalan remaja yang sering menjadi buah bibir
dan bahan diskusi berbagai kalangan merupakan salah satu tema yang merupakan
implikasi dari salah kaprah terhadap makna modernitas.Berkumpulnya
remaja-remaja yang menyebabkan terganggunya orang-orang yang ada di
sekelilingnya, tindakan-tindakan seperti minum minuman keras, menelan obat-obat
terlarang, pemuasan nafsu seksual.
Bekal pendidikan agama yang diperoleh anak dari lingkungan
keluarga akan memberinya kemampuan untuk mengambil haluan di tengah-tengah
kemajuan yang demikian pesat. Keluarga muslim merupakan keluarga-keluarga yang
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik generasi-generasinya
untuk mampu terhindar dari berbagai bentuk tindakan yang menyimpang. Oleh sebab
itu, perbaikan pola pendidikan anak dalam keluarga merupakan sebuah keharusan
dan membutuhkan perhatian yang serius.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan utama dari
pendidikan dalam keluarga adalah penanaman iman dan moral terhadap diri
anak.Untuk pencapaian tujuan tersebut maka keluarga itu sendiri dituntut untuk
memiliki pola pembinaan terencana terhadap anak. Di antara pola pembinaan
terstruktur tersebut:
(1) memberi suri tauladan yang baik bagi
anak-anak dalam berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang
mulia
(2) menyediakan bagi anak-anak
peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka mempraktekkan akhlak yang
mulia yang diterima dari orang tuanya
(3) memberi tanggung jawab yang sesuai
kepada anak-anak supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya.
(4) menjaga mereka dari pergaulan
teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan
moral.
Pembinaan anak secara terencana seperti yang disebutkan di
atas, akan memudahkan orang tua untuk mancapai keberhasilan pendidikan yang
diharapkan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak dalam keluarga, dapat
memberikan implikasi-implikasi sebagai berikut:
1.
Anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan.
Kenyataan membuktikan bahwa anak-anak yang semasa kecilnya
terbiasa dengan kehidupan keagamaan dalam keluarga, akan memberikan pengaruh
positif terhadap perkembangan kepribadian anak pada fase-fase selanjutnya. Oleh
karena itu, sejak dini anak seharusnya dibiasakan dalam praktek-praktek ibadah
dalam rumah tangga seperti ikut shalat jamaah bersama dengan orang tua atau
ikut serta ke mesjid untuk menjalankan ibadah, mendengarkan khutbah atau
ceramah-ceramah keagamaan dan kegiatan religius lainnya.
Apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak
masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak benar, maka ketika
menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau
kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si
anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat ia
dewasa akan semakin marasakan kebutuhannya kepada agama. Dengan
demikian, agama tidak hanya dipelajari dan diketahui saja, tetapi juga dihayati
dan diamalkan dengan konsisten.
2.
Anak memiliki pengetahuan dasar akhlak.
Keluarga merupakan penanaman utama dasar-dasar akhlak bagi
anak, yang biasanya bercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai teladan
yang dapat dicontoh anak. Dalam hubungan ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan
bahwa rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang
pada umumnya sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, teristimewa
pendidikan budi pekerti, terdapat dalam kehidupan keluarga dengan sifat yang
kuat dan murni, sehingga pusat-pusat pendidikan lainnya tidak dapat
menyamainya.
Pendidikan agama sangat terkait dengan pendidikan akhlak
(moral). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam
pengertian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
agama. Hal tersebut karena agama selalu menjadi parameter, sehingga yang baik
adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk
oleh agama.Oleh sebab itu, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah
mendidik jiwa dan akhlak.
3.
Anak memiliki pengetahuan dasar sosial.
Anak adalah generasi penerus yang di masa depannya akan
menjadi anggota masyarakat secara penuh dan mandiri. Oleh karena itu seorang
anak sejak kecil harus sudah mulai belajar bermasyarakat, agar nantinya dia
dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat menjalankan
fungsi-fungsi sosialnya. Orang tua harus menyadari bahwa dirinya merupakan
lapisan mikro dari masyarakat, sehingga sejak awal orang tua sudah menyiapkan
anaknya untuk mengadakan hubungan sosial yang di dalamnya akan terjadi proses
saling mempengaruhi satu sama lain.
Lingkungan sosial yang pertama bagi anak ialah rumah.Di
sanalah terdapat hubungan yang pertama antara anak dengan orang-orang yang
mengurusnya.Hubungan diwujudkan dengan air muka, gerak-gerik dan suara. Karena
hubungan ini, anak belajar memahami gerak-gerik dan air muka orang lain. Hal
ini penting sekali artinya untuk perkembangan selanjutnya.Air muka dan
gerak-gerik itu memegang peranan penting dalam hubungan sosial.Kemudian alat
hubungan kedua yang penting yang mula-mula dipelajari di rumah adalah
bahasa.Dengan bahasa, anak itu mendapat hubungan yang lebih baik dengan
orang-orang yang serumah dengannya.Sebaliknya anak dapat pula berkata yang
tidak senonoh atau mencaci maki dengan menggunakan bahasa pula.
Sebagai akibat dari pengalaman sosialnya, anak yang sedang
berkembang menerima sejumlah besar ilmu tentang dunia dan bagaimana dunia
beroperasi.Ia juga akan mengembangkan nilai-nilai tentang bagaimana ia harus
berinteraksi dengan dunia itu. Pendidikan informal adalah semua
pengajaran dan pelajaran yang dilakukan atau dialami manusia sepanjang
hidupnya.
Dengan demikian, terlihat betapa besar tanggung jawab orang
tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada
lingkungan keluarga tempat di mana ia menjadi pribadi atau diri sendiri. Selain
itu, keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya
untuk mengembangkan dan membentuk diri dan fungsi sosialnya. Di samping itu,
keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti
kepada Tuhan sebagai perwujudan hidup yang tertinggi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Penerapan pendidikan agama terhadap
anak dalam keluarga secara dini memiliki tingkat urgenitas yang sangat
besar.Hal tersebut mengingat bahwa peranan yang dimainkan oleh lembaga
pendidikan formal tidak mampu menggantikan posisi lembaga keluarga dalam
penanaman nilai-nilai moral keagamaan.Fenomena tersebut menempatkan pendidikan
dalam lembaga keluarga menempati posisi strategis. Dalam hal ini, lembaga
keluarga di samping menanamkan modal dasar bagi anak, juga melengkapi
kekurangan-kekurangan sistem pendidikan formal,
Penerapan pendidikan agama terhadap
anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku anak.
Pemberian modal-modal keagamaan dalam keluarga, secara garis besarnya dapat
melahirkan implikasi-implikasi sebagai berikut: (a) anak memiliki pengetahuan
dasar-dasar keagamaan, (b) anak memiliki pengetahuan dasar akhlak, (c) anak
memiliki pengetahuan dasar sosial. Pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut
memiliki arti penting untuk pencapaian tujuan asasi dari pendidikan Islam,
yaitu penanaman iman dan akhlaqul
karimah.
B. SARAN
Demikianlah
makalah yang dapat pemakalah sampaikan.Pemakalah menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan.Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat
pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Semoga makalah ini berguna
bagi kita semua. Terima kasih
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Alfinar. PsikologiPendidikan.
Departeman Agama Republik Indonesia. Jakarta. 2003.
Budiningsih, Asri. Pembelajaran
Moral. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2004.
Zuria, Nurul. Pendidikan Moral
dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan.PT. Bumi Aksara. Jakarta. 2007.
Powered by Blogger.